Secangkir Kopi
Kriiiiiiiing!
“Ah,berisik!” ucapku sambil
mematikan jam alarm bututku yang berdering untuk kali kelima pagi ini. Aku
benci bangun pagi. Aku benci mandi sepagi ini. Aku benci ada jam kuliah pagi
dengan dosen yang penjelasannya selalu membuatku mengantuk setengah mati. Kubenamkan wajahku ke bantal kesayanganku
yang entah sudah berapa minggu tidak kucuci. Aku kembali melanjutkan mimpi.
Tiba-tiba aku terbangun dan melihat
jam bekerku menunjukkan pukul 11.30 WIB. Aku teringat pada tugas desain yang
harus dikumpulkan pada Pak Amir siang ini sebelum pukul 12.00 WIB. Matilah aku!
Aku bergegas mencuci muka dan berganti baju lalu berlari menuju kampus sambil
menjinjing tas bututku yang berisi laptop Acer dan beberapa buku mata kuliahku
hari ini ‘tanpa mandi’. Ah, mahasiswa macam apa aku ini, baru berangkat ke
kampus 2 jam sebelum kuliah berakhir.
Saya
tunggu tugas kamu jam 12 siang ini ya. Kalau tidak bisa mengumpulkan hari ini
saya anggap kamu dapat E pada mata kuliah ini. Ttd : Amir RH.
“Dasar dosen edan!” umpatku sambil terus berlari setelah membaca sms dari Pak
Amir. Mungkin inilah The Power of Kepepet
seperti kata orang-orang. Aku yang
tidak terbiasa olahraga pagi bisa sampai di kampus hanya dalam 7 menit, padahal
biasanya bisa 15 menit. Napasku tersengal-sengal saat mencapai gerbang kampus.
Dan gedung fakultasku berada di bagian belakang. Aku melirik jam tanganku.
12.50 WIB. Benar-benar bencana!! Entah akan seperti apa nilaiku nanti. Napasku
masih tersengal dan aku terus saja berlari.
Aku sampai di ruangan kelasku pukul
12.05 WIB dan mendapati kelas dalam keadaan kosong. Rasanya aku ingin menangis,
pulang, dan menikahi gadis yang lugu saja tanpa harus pusing memikirkan kuliah.
Kalau bukan karena amanat almarhumah Ibu yang bercita-cita memiliki putra
–semata wayang- yang lulus kuliah, aku
tidak mungkin mau seperti ini. Kalau bukan demi orang yang selalu membelaku
ketika Ayah memukuliku, aku tidak mungkin mau seperti ini. Ketika kudapati Pak
Amir sudah tidak ada di ruang kelasku, lututku mendadak gemetar. Aku terduduk
lemas. Terbayang hidupku sungguh sia-sia.Perjuanganku menembus universitas ini
benar-benar tak berguna kalau aku sampai mendapat nilai E dari Pak Amir.
“Woy,Bro!
Pak Amir di ruang dosen, tuh. Syad..Syad,
dicariin dari tadi kok nggak muncul-muncul batang hidungnya,” suara
Andre mengejutkanku. Rasanya ada air surga menetes di kepalaku.
“Serius, Ndre?” aku masih menganga
tidak percaya.
“Iya lah, beneran. Sumpah, deh!” jawabnya
sambil mengacungkan dua jari.
“Berarti aku nggak jadi dapat E
dong?” tanyaku.
“Ya, nggak tau juga, Syad. Itu kan
urusanmu sama Pak Amir. Kayaknya tadi orangnya udah mau pulang, deh!” jawabnya
singkat lalu melangkah pergi.Entah ini jawaban gurauan atau realita, Andre
benar-benar sialan! Aku turun dan
menuju ruang dosen lebih cepat dari bagaimana aku berlari menuju kampus dari
tempat kost tadi, menurutku.
Sesampainya di ruang dosen, Pak Amir
terlihat ongkang-ongkang kaki sambil membaca Koran. Aku menghadap dan hanya
terdiam. Rupanya beliau menyadari kedatanganku.
“Oh, kamu, Syad. Akhirnya datang
juga,” sapa beliau ramah, sekali lagi, ramah. Ini mahasiswa sudah telat datang,
terlambat mengumpulkan tugas, masih bisa disambut dengan begitu ramah.
“Maaf, Pak, tadi saya….”
“Ah sudahlah itu tidak penting. Mana
coba saya lihat desain kamu.” Pak Amir memotong bicaraku dan langsung meminta
tugasku. Beliau memang tipikal orang yang to
the point. Kukeluarkan laptopku dan menyetorkan tugasku pada Pak Amir.
“Hmm, ini bagus. Berapa lama kamu
mengerjakannya? Apa konsep yang kamu usung?” tanya Pak Amir.
“E..sekitar 2 hari, Pak. Konsep yang
saya usung ‘Mengenal Budaya Indonesia Melalui Teknologi’, Pak,” jawabku ragu.
“Oh, bagus konsep kamu. Saya kasih
nilai B+, ya. Kamu telat, sih,, mungkin kalau on time bisa dapat A,” tutur Pak Amir dengan nada sedikit
menyindir.
“Se..se..serius, Pak?” tanyaku
tergagap tidak percaya.
“Iya, sekarang kamu boleh kembali ke
kelas. Lain kali tolong on time ya,” ujar beliau menutup percakapan siang itu.
Percakapan
yang aku pikir akan menegangkan dengan hasil nilai E ternyata berjalan begitu
santai dan tanpa beban. Aku masih terkejut tak percaya. Aku mengucapkan terima
kasih dan meninggalkan ruang dosen. Kantin. Itulah tujuanku sekarang. Di
sepanjang jalan menuju kantin aku masih memikirkan kejadian yang baru saja aku
alami. Benar-benar dosen edan! Bagaimana bisa Pak Amir masih mau menerima
tugas dari mahasiswa yang terlambat mengumpulkan tugasnya lebih dari 15 menit
sedangkan dosen-dosen lain tidak mentolerir keterlambatan walau 1 detik pun.
Jalan pikiran Pak Amir memang sulit dimengerti.
Aku mencari tempat duduk di tempat
yang agak pojok dan jauh dari riuh rendah mahasiswa sambil membawa secangkir
kopi yang kupesan pada ibu kantin tadi. Kuletakkan kopiku dan kubenamkan
kepalaku pada ransel butut hitam ini di atas meja, lalu kekeluarkan laptopku
dan menatapnya kosong.
“Hngggghhh……” Aku menghela nafas
yang cukup panjang.
Hidupku
benar-benar berantakan setelah kepergian ibuku. Aku memang tidak terlalu dekat
dengan ayahku. Sikap beliau yang cepat emosi dan keras membuatku takut dan
cenderung tidak mau peduli dengan ayahku, apalagi saat beliau memukuliku ketika
aku melakukan suatu kesalahan. Puncaknya adalah ketika ayahku memutuskan untuk
menikah lagi. Saat itu juga aku pergi dari rumah kendati ayah melarangku. Kami
sempat terlibat pertengkaran hebat hingga ibu tiriku ikut menangis. Sebenarnya
ibu tiriku adalah orang yang baik, namun saat itu –di usia 19 tahun- aku masih
tidak rela melihat ayah membagi cintanya untuk wanita lain meski ibu telah
meninggalkan kami lebih dari 3 tahun. Saat itu aku kabur dari rumah tanpa
membawa uang sepeserpun. Berjuang sendirian demi melanjutkan hidup dan kuliah.
Menjadi pelayan warung makan, menjual desain yang kubuat pada sesama mahasiswa
dan event organizer yang membutuhkan,
dan segala cara lain yang halal kucoba demi mendapatkan sepeser rupiah. Hingga
akhirnya ibu tiriku berhasil menemukan tempat kostku dan mencoba memberiku pengertian.
“Nak, Irsyad, dengarkan Mama,
tolong..” pintanya.
“Kamu bukan Mamaku!” bentakku. Aku
memang selalu tidak suka padanya selama ini.
“Dengarkan Mama sebentar saja…” dia
meminta lagi.
“Mama mau apa kemari?! Mama udah
ngambil Ayah dari Ibu, dari Irsyad, Mama mau minta apa lagi?!” tanyaku dengan
emosi yang menyulut. Beliau lalu menarik tanganku. Aku berusaha melepas
tanganku dan duduk di depannya dengan muka yang masih merah padam. Siang itu,
aku baru saja pulang kuliah dan menemukannya berada di depan kamar kostku.
Entah darimana dia dapat alamat ini.
“Nak, Mama tau kamu benci sama Mama,
tetapi tolong jangan benci sama Ayah. Mama tau Mama nggak akan pernah bisa
menggantikan posisi Ibu di hati kalian berdua. Mama tau tidak mudah bagi kamu
menerima kehadiran Mama. Mama hanya ingin mengabdikan diri merawat kamu dan
Ayah. Mama hanya ingin kalian bisa akur. Ayah begitu kehilangan kamu, Syad.
Pulanglah, Nak. Pulanglah demi Ayah, Nak. Ayah hanya punya kamu sekarang. Ayah
hanya ingin kamu ada di masa-masa tua Ayah.”
Ucapan
Mama membuatku terdiam dan berpikir bahwa memang hanya aku satu-satunya ‘harta’ yang dimiliki Ayah. Sejak kejadian itu aku
menjadi dekat dengan ayah, dan juga mama, meski mama bagiku tetaplah orang
lain. Aku selalu menyempatkan diri untuk pulang menjenguk ayah setiap minggunya
meski hanya sekedar berbincang sejam atau dua jam, demi ayah. Aku sudah
kehilangan ibu dan aku tidak ingin kehilangan ayah meski beliau pernah memberi
kenangan buruk pada masa kecilku.
“Suka minum kopi juga, Mas?” suara
lelaki itu mengejutkanku. Aku tak kenal dia siapa, tapi sepertinya mahasiswa
kampus ini juga, entah dari fakultas mana. Ia juga membawa secangkir kopi yang
tersisa separuh.
“Nggak terlalu suka kok, Mas. Kalau
sedang ingin saja, biar nggak nagntuk-ngantuk banget dengerin dosen ngomong
terus,” jawabku sambil menyeruput kopiku.
“Hidup itu seperti kopi, Mas. Kalau
campurannya pas, rasanya pasti enak. Hidup juga begitu, Mas. Ada pahit dan
manisnya juga. Kalau kita bisa ambil hikmah dari setiap ujian dan anugerah yang
diberikan Tuhan pada kita, kita pasti ringan menjalaninya. Betul tidak, Mas?”
tanyanya.
“Iya, sampeyan bener juga,” jawabku singkat sambil tersenyum.
“Eh, saya balik dulu ya, Mas. Mau
ada kelas, nih.” Lelaki itu berpamitan lalu bergegas pergi.
Aku masih tidak tau dia siapa, tapi
kata-katanya benar. Anugerah memiliki orang tua terbaik dan ujian demi ujian
mulai dari meninggalnya ibu hingga aku mendapat Mama baru membuatku semakin
dewasa menjalani kehidupanku yang sekarang. Ya, aku berjanji, aku harus
membanggakan Ayah, dan juga Mama, meski dia orang lain bagiku.
***
Hari ini ayah dan mama datang ke
kampus menyaksikan wisudaku, Irsyad Razaq Ardian, sebagai mahasiswa terbaik
dari fakultas ilmu komunikasi jurusan desain komunikasi visual Universitas
Padjajaran bersama ribuan wisudawan dan wisudawati lainnya. Aku merasa lega.
Aku berhasil menata hidupku lagi. Aku berhasil membanggakan ayah, ibu di ‘atas’
sana dan juga mama. Ayah memelukku erat. Pelukan terhangat yang kunantikan
selama hampir 24 tahun lamanya. Mama terharu melihat kami. Aku berterimakasih
kepada mama, karena mama yang berhasil membuatku dan ayah menjadi sedekat ini.
Aku juga berterimakasih pada pemuda di kantin saat itu dan secangkir kopi yang
selalu menemani setiap hari-hari melelahkanku yang telah mengajariku apa arti
hidup sesungguhnya, meski aku tak pernah tau siapa pemuda itu hingga detik ini.
Mantab, be positive thingking to every body arround us
BalasHapussiap, mas :)
Hapus