TERBIASA DAN TIDAK BIASA
Hai!
Bingung nggak baca judulnya? Semoga enggak
yaa, hehe.
Hari ini nggak ada jadwal kuliah. Rasanya
seperti surga dunia setelah semalam taekwondo dan baru bisa tidur menjelang
pukul dua. Sekitar sesi 3 ada pelatihan alpro dari UKM Komnet gitu. Mengingat
bahwa saya tidak mahir menerjemahkan bahasa pemrograman (bahasa program aja
susah paham apalagi bahasa cewek *skip) dan daripada hanya gabut tidur-tiduran
di kamar indekos, akhirnya berangkatlah saya ke kampus. Pelatihan selesai
sekitar jam 4, kemudian karena malas pulang akhirnya belok ke ****mart samping
kampus bareng temen sambil ngobrol-ngobrol dari satu topik ke topik yang lain. Nothing special on that day ‘till I see
something that really touched. Ketika asyik ngobrol, posisi duduk yang saya
tempati tepat menghadap ke pintu keluar yang di samping pintu keluar itu ada
kotak-kotak sedekah seperti biasa. Tak lama, seorang bapak menggandeng anak
kecil yang berusia sekitar 3-4 tahunan keluar sambil membawa sekantong
belanjaan. Hal yang seketika bikin saya nge-freeze
adalah adik tadi berjalan sendiri ke kotak-kotak sedekah tadi sambil memasukkan
koin, mungkin uang kembalian belanja, satu per satu ke dalam kotak. Ia tertawa
sambil melihat ke arah ayahnya yang menunggunya dengan tersenyum. Honestly, I’m really amazed. Niatnya mau
ngefoto, tetapi sayang HP saya dalam keadaan tertidur nyenyak karena kehabisan
baterai. Mungkin Allah berkehendak agar saya menyaksikan hal itu dan merekamnya
baik-baik dalam ingatan saya.
Kalian pernah dengar pepatah “Belajar di waktu
kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar saat dewasa bagai mengukir di
atas air”? Sederhananya segala sesuatu yang telah terbiasa kita lakukan sejak
kecil akan terus terbawa sampai kita dewasa, sedangkan apa yang baru saja kita
pelajari saat dewasa bisa jadi sangat sulit untuk membiasakannya. Dalam hati
saya berdoa, semoga adik kecil tadi akan terus membawa kebiasaan sedekahnya
hingga dewasa nanti. Hope we will meet
again another day ya, dek!
Setelah adik kecil dan ayahnya tadi pergi,
dalam bayangan saya terbentuk refleksi tentang diri saya sendiri. Banyak hal
yang telah dibiasakan orang tua saya dan masih terbawa sampai saya kuliah saat
ini bahkan mungkin di masa yang akan datang, sedangkan kebiasaan-kebiasaan yang
berusaha saya bangun dewasa ini terasa sulit sekali dijalankan. A simple example, pola belajar. Sejak saya
TK, orang tua saya membentuk pola belajar mulai pukul 18.30-20.00 dan tanpa
saya sadari itu jadi kebiasaan hingga sekarang, perbedaannya hanya waktu
berakhirnya jadi lebih larut. Kalau jam 18.30 saya belum mulai belajar meskipun
hanya membaca atau menulis satu kalimat saja, terbesit rasa penyesalan dan
kepanikan “Duh, udah jam segini, belum belajar lagi” dan itu akan terus-menerus
terngiang sampai saya benar-benar belajar hari itu dalam kondisi apapun. Seorang
dosen menyarankan metode belajar baru kepada mahasiswa di kelas saya. Beliau berkata
waktu belajar paling efektif adalah 1/3 malam, karena keadaan itu sunyi,
sehingga ilmu lebih mudah masuk dan bisa lebih fokus. Beliau menyarankan agar
mahasiswanya tidur selepas Isya’ setelah otak dipaksa seharian menerima materi
saat kuliah dan bangun pada waktu-waktu 1/3 malam terakhir untuk belajar.
Pernah sekali mencoba, namun nyatanya malah tidak efektif dan saya jadi panik
sendiri. Sekali waktu saat saya masih SMP atau SMA, entahlah lupa, sedang ujian
semester. Malam sebelumnya semua materi sudah saya pelajari dan selesai. Esok paginya,
ketika tiba di sekolah dan melihat teman-teman belajar, saya terpancing ikut
belajar. Namun nyatanya, saat mengerjakan ujian ada beberapa soal yang tidak
bisa saya jawab padahal jelas semalam saya membacanya. Ibaratnya, ketika lagi
obrak-abrik memori materi yang saya pelajari semalam, kata-kata buat jawab soal
itu tiba-tiba lenyap. Entah itu karena efek belajar pagi itu atau bagaimana
saya juga tidak mengerti. Kalau dilihat-lihat akan seperti gelas penuh yang
diisi air lagi, pasti ada bagian yang akhirnya tumpah dan kita tidak tau air di
titik sebelah mana yang mengalir keluar dari gelas. Sejak saat itu, semacam ada
rasa kapok untuk mengulang, sih. Selain pola belajar, masih banyak hal-hal lain
yang saya sadari bahwa itu kebiasaan yang telah tertanam sejak kecil, misalnya
harus berangkat setengah jam sebelum masuk sekolah, mengucap salam ketika masuk
ruangan, cium tangan orang yang lebih tua (kalau kamu berpikir saya kan sudah
kuliah, tapi ya saya masih melakukannya kepada siapapun, nggak cuma orang tua
aja) dan lain-lain. Banyak, deh, pokoknya. (Note
to myself : semoga nggak homesick
setelah nulis ini).
Dosen mata kuliah sosiologi saya menjelaskan
bahwa usia anak-anak adalah masa-masa rawan karena anak-anak mampu merekam
dengan baik segala yang dilihat di sekitarnya. Inilah sebabnya kita harus
bersikap dan bertutur kata yang baik di hadapan anak-anak. Pernyataan anak-anak
tumbuh mengikuti lingkungan di sekitarnya itu benar. Anak-anak yang dibesarkan
di lingkungan yang baik akan bersikap dan bertutur kata baik, sedangkan
anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kurang baik maka sikap dan tutur
katanya bisa jadi tidak baik (asumsikan tidak ada faktor lain yang berpengaruh,
misalnya trauma, dsb). Contoh sederhana yang sekarang banyak ditemui adalah anak-anak
yang sudah pandai mengoperasikan gadget, bisa jadi karena anak itu sering
mengamati orang di sekitarnya bermain gadget. Mungkin hal-hal seperti ini
banyak dibahas di buku-buku parenting atau psikologi anak, ya. Karena saya
berlajarnya statistika, jadi apa yang saya tulis berdasarkan pendapat saya
sebagai orang awam. Memang tidak pantas rasanya menilai sesuatu tanpa mengetahui
apa yang melatarbelakanginya, tetapi dari sini kita bisa berpikir bahwa sikap
kita adalah mata rantai yang tak berujung. Sikap kita dibentuk dari hal-hal
yang dibiasakan orang tua kita, pun sikap kita nantinya akan jadi panutan
anak-anak kita, sikap anak-anak kita suatu hari nanti akan diamati dan ditiru
oleh cucu-cicit kita dan seterusnya sampai entah generasi ke-berapa. Kejauhan ya
kalau mikir ke sana, masih lama, hehe. Untuk saat ini, hal yang bisa kita
pelajari adalah kita hendaknya bersikap dan bertutur kata yang baik kapanpun
dan di manapun, karena kita tidak tau siapa saja yang mungkin hadir di sekitar
kita. Berpikiran dan bersikap positif akan membangun jiwa yang baik untuk kita
sendiri maupun orang lain, termasuk anak-anak yang ada di sekitar kita meskipun
kita nggak kenal. Think positively, act
positively, and stay happy!
See you on
next post!!
Jakarta, 13 April 2018
Ditulis setelah latihan musik karena takut
idenya menguap jika ditunda-tunda.
Komentar
Posting Komentar