Cinta Pertama part 5 : London

  Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari Kak Saif. Tak lama kemudian pesanan kami datang, pelayan menyajikannya di hadapan kami. Setelah pelayan itu pergi, kami berdua sama-sama menikmati makanan kami masing-masing. Tiba-tiba Kak Saif memanggilku.
  "Ga?"
  "Ya, Kak," jawabku pelan.
  "Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."
Seketika bumi terasa berhenti. Hatiku berdegup kencang. Pikiranku berputar begitu mendengar perkataan Kak Saif, mencoba menerka apa yang ingin ia utarakan.
  "Mama sama Papa mau aku.....", belum selesai Kak Saif bicara, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Sebuah kabar mengejutkan dikirim Ajeng lewat sms, memberi tahu bahwa Murni kecelakaan. Aku bergegas mengambil tas dan hendak pergi ke rumah sakit, namun tangan Kak Saif mencegahku.
  " Ga, ada apa? Kamu mau kemana? Kenapa buru-buru?" tanyanya penuh khawatir.
  "Murni kecelakaan, Kak. Aku harus kesana."
  "Aku antar kamu, kita pamit sama Mama sama Papa dulu."
Aku hanya terdiam mengikuti ucapannya. Ia menarikku masuk ke dalam restoran menemui Mama dan Papa.
  "Loh, kenapa, Ga?" tanya Mama khawatir melihat kedatanganku dan Kak Saif yang terlihat terburu-buru.
  "Om, Tante, Ma, Pa, Saif sama Aga pamit dulu, ya. Murni, sahabat Aga kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Om sama Tante nggak usah khawatir, biar Aga sama Saif aja. Nanti Saif antar Aga pulang. Kami pamit, Om, Tante, Ma, Pa."
Kak Saif langsung menggandeng tanganku menuju ke tempat parkir. Sementara dari kejauhan aku melihat Mama dan Papa masih terkejut mendengar kabar itu. Bahkan aku tidak menyadari bahwa Kak Saif menggandeng tanganku begitu erat, seolah mengerti apa yang sedang aku rasakan sekarang.
  Kami langsung meluncur ke RS. Mitra Husada, tempat Murni di rawat. Di sepanjang perjalanan kami tak saling bicara. Kak Saif fokus menyetir mobilnya agar cepat sampai di rumah sakit, sementara aku sibuk menghubungi Ajeng menanyakan keadaan Murni. Beberapa kali Kak Saif memegang tanganku, seolah meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak mengerti mengapa aku ada di situasi seperti ini, tetapi aku menikmatinya. Entah mengapa baru kali ini aku merasa nyaman bersama seseorang yang bahkan hanya sekedar senior di sekolahku. Sesampainya di rumah sakit, aku berlari menuju UGD, ku lihat Ajeng juga ada di sana.
  "Gimana Murni? Murni nggak papa, kan? Kenapa bisa kecelakaan? Murni darimana? Sama siapa?" tanyaku pada Ajeng. Ajeng hanya diam. Dia menatapku, lalu memelukku sambil menangis. Sementara itu Kak Saif menemui perawat yang bertugas dan kembali dengan raut muka yang sedih. Dia mendatangi kami dan mencoba menenangkan kami berdua.
  "Murni masih ditangani dokter. Lengannya patah. Ada sedikit luka sobek di keningnya, untungnya tidak terlalu dalam. Kalian nggak usah khawatir, Murni bakal baik-baik aja."
                                *****
  Murni dirawat di rumah sakit selama seminggu. Selama seminggu itu pula, Kak Saif rutin mengantarku ke rumah sakit meski aku sudah berkali-kali menolak. Selama itu pula aku merasa semakain nyaman berada di dekat Kak Saif. Cinta, sepertinya bukan, tapi....ah sudahlah aku tidak terlalu mau memikirkan itu. Mama dan Papa juga begitu percaya pada Kak Saif, sepertinya. Hingga pada suatu hari, kabar menyesakkan dada itu benar-benar datang.
  "Ga?"
  "Iya, Kak. Ada apa?"
Saat itu kami sedang menikmati makan siang di sebuah resto dekat rumah sakit tempat Murni dirawat.
  "Aku pengen ngomong sesuatu."
Deg! Jantungku berdegup lebih kencang, lagi.
  "Iya, silahkan. Aga akan dengarkan dengan senang hati," jawabku sambil berusaha tersenyum.
  "Mama sama Papa mau aku ikut ke London, kuliah di sana, belajar bisnis sama Papa di sana, me ......... Ga, kamu kenapa?"
Aku terkejut mendengar Kak Saif bertanya begitu. Sepertinya ia melihatku menangis. Aku segera menghapus air mataku dan menatap Kak Saif sambil tersenyum.
  "E.,nggak papa kok, Kak. I'm fine", jawabku sambil tersenyum.
  " Ya alhamdulillah kalau Kak Saif bisa kesana, bisa belajar lebih baik dan lebih banyak di sana, bisa deket sama Mama sama Papa Kak Saif. Aga ikut seneng, kok."
  "Ga, kamu kok ngomongnya gitu? Aku cinta sama kamu, Ga. Aku nggak pengen jauh dari kamu, aku..."
  "Kak, kalau itu baik untuk kehidupan Kakak, Kakak harus ambil kesempatan itu. Kesempatan itu nggak akan datang dua kali, Kak."
  "Tapi kamu gimana, Ga?"
  " Loh kok jadi mikirin Aga sih, Kak?" aku tertawa kecil mendengarnya. Kak Saif hanya mengernyitkan dahi.
  "Kak, pokoknya Kak Saif harus berangkat ke London. Kak Saif harus kejar impian dan cita-cita Kakak. Kakak pasti bisa jadi orang sukses, bisa jadi kebanggaan Om dan Tante." Aku berusaha meyakinkan Kak Saif, ia juga tersenyum mendengarku.
  Entah kekuatan apa yang mendorongku mengatakan hal itu, meskipun berat tetapi aku bisa mengatakannya. Bandung dan London. Terpisah jarak dan waktu untuk beberapa tahun lamanya. Meski aku bisa memintanya untuk tidak berangkat, namun aku tidak seegois itu melarangnya membanggakan kedua orangtuanya. Sanggupkak seorang Aga yang lemah jauh dari sisimu, Kak Saif? Sanggupkan seorang Aga yang baru saja belajar tentang cinta ini jauh dari cinta pertamanya? Entahlah, biarkan waktu yang menjawabnya.

Komentar

Postingan Populer